FIQH

Halaman ini pada membicarakan persoalan FIQH semasa yang selalu kita temukan dalam keseharian. Mudah-mudahan dengan perkongsian ini dapat bermanfaat kepada kita semua.
________________________________________________________________

CARA DUDUK TAHIYAT AKHIR DENGAN BETUL

Pada kesempatan kali ini saya ingin berkongsi satu pertanyaan yang kadang-kadang timbul dalam diri kita. Kadang-kadang kita tertnya-tanya kenapa si fulan ni duduk tahiyat akhir macam ni, dan yang ni pula seperti ini. Pendek kata, biar kita lakukan atas kefahaman yang betul jangan ikut-ikutan. Semoga bermanfaat.

(Guest)
Assalamualaikum.
Apakah benar ada nas mengenai duduk tahiyat akhir yg tepat. Maksudnya, ada kalanya kita dapati ada umat islam yg duduk tahiyat akhir seperti duduk tahiyat awal dan ada pula mengatakan mesti duduk sepertimana duduk tahiyat akhir yg biasa kita buat....jika tidak amalan kita terbatal. Benarkah begitu, jika ya, bolehkah ustaz berikan hujah nas dan yg mana satukah kaedah duduk tahiyat yg tepat dgn sunah nabi.

Sekian, wasalam

****************
izrail
Panel Feqh

Bismillah
Wassolatu wassalam 'ala Rasulillah SAW,

Duduk tahiyat akhir sepertimana yang biasa dilakukan orang Islam Malaysia adalah merupakan duduk yang tepat berdasarkan hadith sahih.

Antaranya hadith Abu Humaid As-Sa’idi yang meriwayatkan sifat solat Nabi SAW: 

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
" Dan apabila baginda duduk pada raka’at kedua (tahiyat awal), maka baginda duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirash), dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan, dan duduk di atas tempat duduknya (duduk tawarruk) ". (HR. Bukhari)

Hadith ini membezakan antara duduk tahiyat awal dan akhir. Dan cara duduk tersebut merupakan yang paling afdal bagi kedua-dua keadaan duduk ini.
Imam Nawawi menjelaskan: jika seseorang itu meninggalkan duduk yang sunnah ini, solatnya tidak terbatal. Begitu juga dengan apa jenis duduk sekalipun, samada seseorang itu terbalikkan duduk tahyiat awal (iftirash) dengan duduk tahiyat akhir (tawarruk) atau duduk berlunjur atau bersila atau lain-lain jenis duduk, semua ini tidak membatalkan solat, tetapi dia dikira telah meninggalkan sunnah yang afdal.

Wallahualam 
Rujukan:
Al-Majmuk oleh Imam Nawawi: 3/412 - 413.
Posted by aizuddinat

Semoga dengan perkongsian ini, ibadah solat yang kita dirikan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. Semoga bermanfaat.

Ikuti sambungan berikutnya...
_______________________________________________________

NAJIS, mudah dijumpai jarang dikenali
Pengetahuan tentang najis sangat pennting bagi seorang muslim karena berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya hanya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh syariat.

Najis merupakan hal yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan harus diperhatikan keberadaannya, khususnya oleh seorang muslim karena berkaitan dengan ibadahnya kepada Allah. Contoh yang paling mudah, ketika seorang hendak menegakkan shalat, ia harus memperhatikan kesucian diri dan tempat shalatnya dari hadats maupun najis.


Namun sangat disayangkan, berapa banyak kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini walaupun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasannya macam-macamnya secara rinci. Terkadang sesuatu yang najis disangka sebagai sesuatu yang bukan najis. Di waktu lain, sesuatu yang sebelumnya tidak najis berusaha dihindari karena disangka najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.


Agama kita yang sempurna telah menjelaskan dengan lengkap dan rinci tentang najis ini. Para ulama telah menerangkan bahwa najis adalah kotoran yang wajib dijauhi oleh seorang muslim dan harus dibersihkan ketika mengenai sesuatu. Di antara macam-macam najis tersebut ada yang disepakati oleh para ulama bahwa perkara itu adalah najis, dan ada pula yang diperselisihkan tentang kenajisannya, apakah hal itu termasuk sesuatu yang najis atau bukan.

Kali ini kami akan menjelaskan terlebih dahulu hal-hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis.
1. Kotoran (tahi) dan kencing manusia
Najisnya kotoran manusia diisyaratkan dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat yang mulia, Abu Sa’id Al Khudri. Beliau menceritakan bahwasanyaRasulullah pernah shalat bersama para sahabatnya dalam keadaan mengenakan sandal namun tiba-tiba beliau melepas sandalnya dan meletakkannya di sebelah kiri beliau dan perbuatan ini diikuti oleh para sahabat. Selesai shalat, beliau mempertanyakan perbuatan para sahabatnya tersebut dan memberitahukan alasan melepas sandal yaitu dikarenakan Jibril mengabarkan bahwa di sandal beliau ada kotoran, dan beliau bersabda: ”Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk sholat.” (HR. Imam Ahmad)
Adapun najisnya kencing manusia dijelaskan dalam hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan di dalam Shahihain (Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim) tentang dua orang penghuni kubur yang diadzab. Dikatakan oleh Rasulullah: ”Adapun salah satu dari keduanya tidak membersihkan dirinya dari kencingnya.” (HR. Bukhari Muslim)
Masalah kenajisan kotoran dan kencing manusia ini banyak ataupun sedikit disepakati oleh ulama. Adapun Abu Hanifah dalam masalah kencing, beliau berpendapat jika didapati kencing setitik jarum, maka ini tidak memudharatkan. Namun sebagaimana diterangkan di atas, kencing manusia baik banyak ataupun sedikit adalah najis, dengan dalil yang jelas dan terang, serta merupakan kesepakatan ulama. Sedangkan apa yang datang dari Abu Hanifah adalah pendapat yang tertolak.
Lain halnya dengan kencing anak kecil laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan kecuali kurma untuk tahnik (tahnik adalah mengunyah sesuatu, dalam hal ini kurma sampai lumat kemudian dimasukkan/digosok-gosokkan ke langit-langit mulut bayi yang baru lahir) dan madu untuk pengobatan. Kebanyakan para ibu mengatakan bahwa itu bukan najis sehingga mereka bermudah-mudah dalam hal ini.
Walaupun dalam hal ini ada perselisihan ulama, pendapat yang kuat menyatakan bahwa kencing anak laki-laki yang masih menyusu dan belum makan makanan tambahan itu najis, sebagaimana dinyatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim, namun najisnya ringan. Dalil keringanannya diisyaratkan dengan ringannya cara membersihkannya seperti dalam hadits Ummu Qais bintu Mihsan yang diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Imam Muslim. Ummu Qais bintu Mihshan Al Asadiyah membawa anaknya yang masih kecil dan belum makan makanan kepada Rasulullah, lalu Rasulullah menundukkan anak itu di pangkuannya. Kemudian anak itu kencing di baju beliau. Maka Rasulullah meminta air dan mengguyurkannya ke bajunya (hingga air menggenangi bekas kencing tersebut) dan tidak mencucinya. (Dalam lafadz lain: lalu beliau menuangkan air ke atas bekas kencing tersebut)
Walaupun najis tersebut ringan, namun masih tetap harus dibersihkan dengan mengguyurkan air padanya sesuai dengan apa yang bisa kita lihat pada hadits di atas.
Syaikh Muhammad bin ShalihAl ’Utsaimin rahimahullah ditanya tentang hukum kencing anak kecil apabila mengenai pakaian. Beliau menjawab:
Yang benar dalam masalah ini, kencing anak laki-laki yang hanya minum susu adalah najis yang ringan dan penyuciannya cukup dengan basuhan, yaitu dituangkan air pada pakaian tersebut hingga menggenanginya (yakni air itu lebih banyak dan lebih dominan daripada kencing tersebut) tanpa dikucek maupun diperas. Hal ini disebutkan dalam hadits yang shahih bahwasanya didatangkan kepada Nabi seorang anak laki-laki yang masih kecil, kemudian beliau meletakkan di atas pangkuannya, lalu anak itu mengencingi beliau. Maka beliau meminta air, lalu menuangi kencing tersebut dengan air dan tidak mencucinya.
Adapun kencing anak perempuan maka harus dicuci, karena pada asalnya kencing itu najis dan wajib dicuci. Akan tetapi dikecualikan kencing anak laki-laki yang masih kecil (yang hanya minum susu) berdasarkan dalil yang ditunjukkan oleh Sunnah.
Adapun dalam masalah kotoran dan kencing hewan, masih diperselisihkan kalangan ulama. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa kotoran hewan baik yang dimakan dagingnya maupun tidak adalah najis, sebagaimana pendapat jumhur ulama dan Syafi’i. Sebagian yang lain berpendapat, yang najis hanya kotoran hewan yang tidak dimakan dagingnya. Sementara pendapat yang lain dari kalangan ulama dan wallahu ta’ala a’lamu bishshawab ini adalah pendapat yang kuat, pada asalnya semua kotoran hewan suci, kecuali ada nash yang mengatakan najis, maka barulah dikatakan najis.
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa tidak semua yang kotor pada wujudnya itu najis, kecuali ada nash yang menerangkan kenajisannya. Misalnya tahi cicak, tidak ada nash yang menunjukkan kenajisannya, maka itu bukan najis. Namun bila dikatakan kotoran (sesuatu yang kotor) maka tahi cicak itu memang termasuk kotoran.
Hal lain yang berkaitan dengan masalah ini adalah kencing unta. Seperti kita ketahui, kencing unta adalah kotoran, namun bukan najis. Bahkan ada riwayat dari Anas bin Malik yang menerangkan bahwa Rasulullah memerintahkan untuk minum air kencing unta, sebagaimana tertera dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim) dan lainnya: ”Sekelompok orang dari Bani ’Akl (Bani ’Urainah) datang menemui Nabi. Namun mereka merasa tidak betah tinggal di Madinah karena sakit yang menimpa mereka, maka Rasulullah memerintahkan agar didatangkan seekor unta betina yang banyak susunya dan menyuruh mereka minum air kencing dan susunya. Lalu mereka beranjak melakukannya. Ketika telah sehat, mereka membunuh penggembala ternak Nabi dan meminum susu ternak itu. Datanglah berita tentang peristiwa itu menjelang siang sehingga Rasulullah memerintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Pada siang harinya, mereka didatangkan di hadapan Nabi, lalu beliau memerintahkan agar dipotong tangan dan kaki mereka, dicungkil matanya, dan dilemparkan di tengah padang pasir yang panas. Mereka meminta-minta minum, namun tidak diberi minum.
2. Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih encer dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.

Kaum muslimin bersepakat bahwa madzi itu najis, sebagaimana dinukilkan Imam An-Nawawi dalam Al Majmu’. Dalil lain yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits yang dikeluarkan Imam Bukhari dan Imam Muslim dari hadits ’Ali, menyuruh seorang shahabi, Miqdad ibnul Aswad, untuk menanyakan tentang madzi ini kepada Rasulullah. Beliau menjawab: ”Hendaknya ia mencuci kemaluannya dan berwudhu.
Ibnul Daqiqil ’Id rahimahullah mengatakan dalam Ihkamul Ahkam: ”Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, dimana Rasulullah memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.
Suatu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun wanita, namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam Syarah Muslim.
3. Wadiy
Wadiy adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejan setelah buang air besar. Hukum wadiy sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Imam An-Nawawi rahimahullah ta’ala di dalam kitabnya Al Majmu’ menukilkan ijma’ (kesepakatan) bahwa wadiy itu najis. Beliau mengatakan: ”Telah bersepakat umat ini tentang najisynya madzi dan wadiy.

4. Darah Haid dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang umum dijumpai kaum wanita. Namun masih ada dari mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau bukan, sementara hal ini sangat penting bagi mereka.

Tentang dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid dan nifas dalam hadits Asma’ bintu Abi Bakr radhiallahu’anha. Beliau menceritakan: ”Seorang wanita bertanya pada Rasulullah. Ia berkata: ’Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?’ Maka Rasulullah bersabda: ’Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya ia mengerik lalu membasuhnya, kemudian ia shalat mengenakan pakaian tersebut.’ ” (Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Imam Al Bukhari dan Muslim)
Berkata Imam Ash Shan’ani rahimahullah di dalam Subulus Salam setelah membawakan hadits di atas: ”Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.
Kaum muslimin sendiri telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Imam An Nawawi menukilkan adanya ijma’ dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.
5. Bangkai
Begitu pula halnya dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam An Nawawi dalam Al Majmu’.

Rasulullah bersabda: ”Apabila kulit telah disamak maka itu merupakan penyuciannya.” (HR.Muslim)
Dari hadits di atas dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya.
Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
1. Bangkai manusia dengan keumuman sabda Nabi: ”Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari Muslim)
2. Bangkai hewan laut dengan dalil firman AllahDihalalkan bagi kalian binatang buruan dari laut dan makanan dari hasil laut…(Al Maidah: 96)

Imam Thabari menukilkan dari Ibnu Abbas rahimahumullah tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan “shoydu” adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan “tho’amuhu” adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (telah menjadi bangkai).
Dalam hadits, Rasulullah bersabda: ”Laut itu suci airnya dan halal bangkainya ”. (Hadits Shahih diriwayatkan Ashabus Sunan)
3. Setiap hewan yang tidak memiliki darah yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking, dan lainnya. Berdalil dengan hadits: ”Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR. Bukhari)
Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata: ”Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanan dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusaknya.”
Ketiga poin di atas sebenarnya ada perselisihan pendapat tentang kenajisannya, namun pendapat yang kuat dengan dalil yang ada, ketiganya bukannya najis, wallahu a’lam bishawwab.
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya khususnya dalam pembahasan kita tentang najasat agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusakkan ibadahnya kepada Allah.
Wallahu a’lam
Maroji’: Asy Syariah